Blog ini berisi kumpulan cerita hantu , blog ini bertujuan untuk menambah wawasan dan tukar pengalaman para pecinta cerita hantu. bukan untuk menakut-nakuti

loading...

Lanjutan cerita hantu mayat yang tidak terima jasadnya di pakai bahan percobaan praktek kedokteran

Cerita hantu

 Tusimin sedang mengepel lantai ketika mendengar suara aneh. Dia berhenti mengepel. Menatap ke seluruh ruangan.
Laci-laci penyimpanan mayat berada disisi kanan. Di ujungnya ada lemari berisi peralatan otopsi, cairan kimia, sarung tangan dan pernak-pernik bedah. Di bagian lain ada beberapa meja panjang beralas ubin keramik putih. Tempat mayat akan ditaruh. Disitu para calon dokter mengamati, memotong-motong anggota tubuh mayat dan membuat laporan supaya mereka lebih mengenal tubuh manusia.
Hanya dia sendiri di ruangan itu. Dipasangnya telinga baik-baik. Tak terdengar suara sama sekali.
Mungkin dia mendengar suara angin atau barang bergeser. Tusimin memilih jawaban sendiri agar hatinya tenang.
Dia melanjukan mengepel.
Kembali terdengar suara. Seperti benturan pada logam. Kala Tusimin mengangkat kepala mencari sumber suara, tak terdengar lagi bunyi itu.
Hatinya berdesir. Dia yakin baru saja mendengar sebuah suara.
Tusimin belum melanjutkan mengepel, kala bunyi berikut mengagetkannya.
Brukkk...!!
Bruuukkkk..!!




BRUKKKK..!!
Suara dari laci kabinet penyimpanan mayat!
BRUUKKK.!!
BRUKKKKK!!!
Bunyi berikutnya semakin keras.
Tusimin terpaku. Dilihatnya laci kabinet bergetar. Seolah digedor-gedor orang dari dalam.
Tapi karyawan laboratorium itu sadar. Siapa pun yang berada di dalam laci dari bahan stainless steel itu mestinya tak bisa menggedor-gedor. Boro-boro memukul sedemikian keras. Gerakan memukul yang lemah pun tak bisa. Karena mereka adalah mayat.
Klek! Suara pintu.
"Waaaaa...!!" Tusimin menjerit.
Jono baru saja membuka pintu dan masuk keruangan. Dia heran melihat Tusimin menjerit ketakutan melihatnya.
"Kamu kenapa, Min?"
Tusimin mendesah lega. Sambil memegang alat pel, dia buru-buru mendekati Jono. "Tadi aku dengar suara dari...." Ditunjuknya laci-laci kabinet penyimpanan mayat.
Tusimin baru menyadari kalau ruangan itu senyap. Tak didengarnya lagi suara yang membuatnya bergidik.
"Suara apa? Aku enggak denger!"
Lemah Tusimin menjawab. "Tadi jelas banget. Kayak orang menggedor-gedor."



Jono cemberut. "Kamu seneng amat sih nakut-nakutin aku?"
"Siapa yang nakutin? Aku barusan denger suara ngegedor-gedor kayak orang minta keluar dari laci penyimpanan mayat."
"Masa?"
"Serius. Coba deh... Pasti sebentar lagi kedengaran."
Keduanya menatap laci-laci kabinet sambil memasang telinga. Berharap mendengar suara kembali.
Detik demi detik berjalan pelan. Suasana senyap.
Sedemikian hening sampai Jono bisa mendengar degup jantungnya dengan jelas.
Lewat beberapa menit dalam keheningan. Tetap tak terdengar apa-apa.
"Engga ada apa-apa ? Jono menatap Tusimin.
"Tapi tadi beneran..."
"Min, barusan aku dikasih tau Pak Dokter yang botak itu."
"Sopan dikit kamu. Namanya Pak Gufron, kepala Lab.
"Iya. Pak gufron. Katanya kita harus nyiapin mayat untuk prakter. Aku pikir sudah kamu siapin."
"Belum...."
Tusimin amat enggan bergerak. Dipegangnya bahu jono sambil menatap penuh harap. "Kamu deh yang naruh mayatnya ke situ."
Ditunjuknya meja-meja panjang beralas keramik putih. "Aku...
agak lemas. Kepalaku pusing."







 "Kamu gimana sih? Jono ogah-ogahan. "Aku kan belum pernah naruh mayat-mayat ke situ. Caranya gimana aja aku belum ngerti."
"Keluarin aja mayatnya. Angkat. Taruh di meja."
"Mana kuat aku sendirian? Ayo, bantu!"

***
"Berapa mayat yang mesti disiapin, Min?"
Tusimin mengangkat jari telunjuk dan jari tengah.
Memberi kode angkat dua. "Satu mayat perempuan. Satu mayat laki-laki. Semuanya harus utuh. Jangan ada bekas luka atw korban kecelakaan.
"waduh...ngangkat satu mayat aja aku udah keringat dingin. Gimana dua?"
"Ngomong aja kamu! Ayo ambil yang atas."
Tusimin menunjuk laci kabinet paling atas.
"Sebentar, aku doa."
"Aku juga ah..."
Karena takut keduanya berdoa dalam hati. Mulut Jono komat kamit saking seriusnya melafalkan doa.
Selanjutnya dengan tangan gemetar Jono menarik laci kabinet. Suara keriet logam beradu membuatnya makin gemetar.
Di dalam laci terbaring kaku seorang perempuan berusia skitar lima puluh tahun. Rambutnya sebahu, kusam kecoklatan.








 Meski agak gemuk namun penampilan perempuan ini pun tidak terawat.
"Sukur deh ini agak mendingan."
Sesungguhnya Jono merinding. Dia hanya menghibur diri bahwa mayat itu tidak terlalu menakutkan.
"Ayo, angkat."
"Aku angkat kakinya. Kamu angkat kepalanya."
Jono bergeser mendekati bagian kepala si mayat.
Tusimin memegang kedua kaki mayat.
Dilihatnya Jono masih ragu.
"Pegang kepalanya."
Jono mengulurkan tangan lalu menyentuh kepala mayat perempuan. Tersentuh rambut dan kupingnya.
Dia bergidik. Untuk mengusir rasa risih, dicengkeramnya kepala mayat seraya membayangkan memegang kepala seekor kambing.
"Angkat pelan."
Keduanya mengangkat tubuh kaku itu ke meja praktikum.
Entah kenapa Jono teringat almarhumah ibunya. Seorang perempuan kampung yang sudah berumur 65 tahun. Dari dulu sampai sekarang, meski anak-anaknya sudah menikah semua, sang ibu selalu bergelimang kemiskinan.
Jono bergidik. Membayangkan Ibunya bernasib seperti perempuan ini? Betapa menyedihkan. Meninggal tanpa dikuburkan secara layak.




 Malah menjadi bahan pelajaran mahasiswa kedokteran.
Gemetar tangan Jono. Tanpa disadari pegangannya di kepala si mayat mengendur.
Tiba-tiba... BRUKK...!!
Pegangannya terlepas. Si mayat terjatuh ke lantai.
Bagian kepala mayat menghantam lantai lebih dulu karena Tusimin masih memegang kakinya.
"Astaga!" Tusimin melotot.
"Maaf. Tanganku licin...."
"Pak Gufron pasti marah kalau tau mayat jatuh begini. Bisa rusak."
"Tolong jangan kasih tau dia, Min. Nanti aku dipecat."
"Yo wis, enggak kulaporin. Kamu bilang kita harus hormat ke mayat, tapi kok malah dijatuhin?"
"Sudahlah... Memang aku salah. Ayo, angkat lagi."
Mereka mengangkat mayat lebih hati-hati.
Perlahan mayat diletakkan di meja praktikum.
Jono lega.
Mayat perempuan itu berbaring seperti orang tidur lelap.
"Pasang kain penutupnya, Jon. Kalau mahasiswa belum mulai praktikum, mayat harus ditutup dulu."
Jono tahu dimana kain yang dimaksud berada.
Dia menuju lemari penyimpanan, mengambil sebuah kain berwarna biru muda.


 Dibantu Tusimin, Jono membentangkan kain di atas mayat.
Lebih enak perasaan keduanya kala mayat sudah tertutup.
"Perlu dua kan? Satu lagi mayat yang mana, Min?"
"Yang pertama aku keluarin. Mayat kakek-kakek gelandangan."
Jono tahu dimana letaknya. Tanpa disuruh dia mendekat ke laci kabinet. Ditariknya pegangan laci berisi mayat yang pertama dilihatnya hari ini.
Tusimin membantu Jono.
Laci tertarik keluar.
Keduanya melongo. Mereka melihat mayat yang kepalanya merekah, korban bunuh diri yang melompat dari gedung tinggi, di dalam laci itu.
"Kenapa ngambil yang ini? Kan aku bilang mayat kakek-kakek. Yang kepalanya masih utuh. Yang rambutnya sudah putih semua."
Jono bingung. "Maksudku juga mau ngambil yang itu. Kan tadi kamu taruh di laci ini?"
Tusimin memperhatikan urutan letak laci-laci. "Iya ya. Laci ini mestinya yang isinya mayat si kakek."
"Apa berubah tempat?"
"Mungkin aku lupa lacinya..." Tusimin berusaha menetralisir suasana yang kembali tegang. Padahal dia yakin tidak lupa letak laci tersebut.





Laci didorong masuk kembali oleh Jono.
"Berarti ini yang isinya mayat si kakek..." Dia menunjuk laci lain.
Tusimin mengangguk.
Jono menarik laci pelan-pelan.
Baru terbuka sedikit Jono menjerit.
Tusimin ikut terpekik.
Tampak kepala merekah di dalam laci itu. Mayat lelaki yang meninggal bunuh diri!
Secepat kilat Jono mendorong laci kembali ke tempatnya.
Brukk!! Laci berdentam keras.
Keduanya saling berpandangan.
Bingung.
"Kok bisa dia lagi?"
Tusimin menggeleng. "Aku yakin sebenarnya tempat si kakek di laci sebelumnya. Kalo laci barusan memang isinya yang itu."
"Tapi kamu lihat sendiri kan? Laci tadi isinya mayat yang sama?"
"Iya sih."
"Aku jadi enggak ngerti... Sebelumnya enggak pernah ada kejadian begini. Paling-paling aku denger suara doang atau ada bayangan."
Mendadak seperti ada angin masuk ke dalam ruang praktikum. Padahal pintu tertutup.
Hembusan angin itu cukup kuat.
Bulu kuduk Tusimin meremang. Demikian juga Jono.
Mereka mencium bau formalin menyebar kuat. Namun, ada bau lain.





 Bau kemenyan dan bunga tabur yang berisi campuran melati dan irisan daun pandan.
"Kamu nyium bau....?"
Jono mengangguk. Mengerti apa yang ditanya temannya.
Udara terasa lebih dingin. Jono sampai bersedekap karena menggigil kedinginan.
Lamat-lamat terdengar suara.
Keduanya tahu suara apa itu. Gedoran dari dalam laci penyimpanan mayat.
Brukk..!!
Suara yang semula pelan berubah keras.
Brukkk!!!
BRRUKKK!!!!
Semakin keras saja bunyinya.
Tusimin mendekat ke Jono.
Jono merapat ke Tusimin.
Brukkk...!! Brukkkk....!!! Brukkk...!!! Gedoran terdengar beruntun. Sepertinya semua laci penyimpanan mayat digedor berbarengan.
Kedua lelaki di dalam ruangan mengkeret ketakutan. Mereka tak tahu kenapa bunyi itu makin keras dan semakin keras.
Mereka ingin menyuruh siapa pun yang membuat bunyi gaduh itu diam.
Tapi mereka sadar, tak akan bisa. Karena mereka bukan berhadapan dengan manusia.
Mendadak... Ttrraapp..!
Lampu mati.
"Waaaa...!!!" Keduanya menjerit lantang.
Tusimin mengaduh. "Jangan injak kakiku!!"
"Maaf..."






Mujur saat itu siang hari. Gorden-gorden pada jendela dibuka. Cahaya matahari bisa menerobos masuk meski tidak terlalu terang.
Namun Tusimin dan Jono masih ketakutan.
"Gimana ngidupin lampunya, Min?"
"Lapor ke bagian listrik."
"Kamu yang lapor. Eh, mendingan kita lapor bareng. Aku takut sendirian."
"Buruan."
Saat hendak keluar ruangan, keduanya terpaku.
Tampak lima tubuh terbujur kaku, berjejer berdampingan di meja praktikum.
"Kenapa bisa keluar semua?"
"Mungkin mayatnya pada marah..."
"Sebentar." Tusimin menenangkan diri. "Ini enggak mungkin terjadi. Ini pasti cuma pikiran kita. Karena kita terlalu takut."
"Tapi aku takut beneran, Min."
"Coba kamu ambil napas. Sambil merem supaya pikiran kita tenang... Nanti, yang tadi kita lihat bakal hilang sendiri."
"Bener, Min?"
"Dulu ada yang ngasih tau aku begitu."
Jono masih ragu.
Dilihatnya Tusimin memejamkan mata sambil komat-kamit berdoa.
Jono mengikuti apa yang dilakukan rekannya.
"Sekarang pelan-pelan kita buka mata. Satu...."




Kelopak mata Tusimin dan Jono membuka pelan-pelan.
"Dua..."
"Tiga!" sambung Jono dengan suara gemetar.
Mereka berharap tak melihat kelima mayat yang terbujur di meja praktikum lagi.
Harapan mereka memang terkabul.
Tapi mereka melihat yang lebih mengerikan.
"Waaaaa..!!!" Tusimin dan Jono berteriak bareng.
Ada lima sosok menakutkan berdiri mengelilingi mereka. Mayat gelandangan tua, mayat si ibu agak gemuk, mayat orang mati bunuh diri yang kepalanya terbelah, mayat seorang perempuan tanpa kaki, serta mayat seorang lelaki hitam tanpa kepala.
Semuanya melotot!
"Min..." Jono tak bisa meneruskan kalimatnya. Dia langsung pingsan di tempat.
Tusimin mencoba lari. Tapi dia menabrak meja praktikum hingga jatuh.
Kala Tusimin bangkit dan hendak lari lagi dilihatnya mayat dengan kepala terbelah menghadang. Pandangan Tusimin berkunang-kunang sebelum tubuhnya ambruk kehilangan kesadaran.

***

Praktikum tetap berlangsung hari itu.
Hanya jadwalnya saja yang tertunda menjadi pukul 11 siang.








Beberapa dosen yang memang ahli dalam hal bedah mayat membantu mahasiswa yang tampak tegang.
Padahal kejadian yang belum lama menimpa kedua petugas ruang laboratorium tidak diberitahukan agar para mahasiswa tidak takut.
Wajah seorang mahasiswi berubah pucat kala diminta dosennya memotong tangan mayat gelandangan tua.
Hatinya dag-dig-dug tak karuan. Keringat dingin mengucur dari tubuhnya.
Kali ini dia bukan hanya memotong tubuh burung, kelinci atau binatang percobaan. Untuk pertama kali dalam hidupnya dia akan memotong tubuh manusia.
"Santai saja." Dosennya menenangkan. "Lakukan pemotongan tepat di pergelangan tangan. Jangan ragu. Lakukan dengan kuat dan bertenaga."
Si mahasiswi mencoba.
Keringat dingin di tubuhnya mengucur semakin banyak.
Sambil mengertakkan gigi, dipotongnya tangan mayat yang terbujur pasrah di depannya.
CLLAAAPP....!!
Lampu ruang praktikum mendadak mati.






Para dosen dan semua mahasiswa kedokteran berteriak kaget.
Mereka lebih kaget lagi kala mahasiswi yang hendak memotong tangan gelandangan tua mendadak terjatuh.
Semua mahasiswa mengira temannya hanya pingsan.
Tapi mahasiswi itu mendadak bergerak. Matanya melotot dan dari mulutnya keluar suara lain.
"Jangan potong tubuh saya." Suara yang keluar dari mulutnya adalah suara seorang lelaki renta. "Saya ingin dikuburkan secara layak. Saya akan mengganggu kalian jika tubuh saya kalian potong-potong seperti binatang!"


#TAMAT
loading...

Subscribe to receive free email updates:

1 Response to "Lanjutan cerita hantu mayat yang tidak terima jasadnya di pakai bahan percobaan praktek kedokteran"

  1. Hai kawan sudah tau sekarang ada aplikasi MYDRAKOR, kamu bisa menonton film drama korean favorite dan tidak akan ketinggalan, MYDRAKOR aplikasi gratis tinggal download di GooglePlay.

    https://play.google.com/store/apps/details?id=id.mydrakor.main

    https://www.inflixer.com/

    ReplyDelete